Blogroll
!-end>!-local>
Rabu, 01 Mei 2013
Mungkin, Aku Terlalu Banyak Berharap
Rasanya semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba
merasakan perasaan yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama.
Kamu hadir membawa banyak perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi
lebih berwarna ketika sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak
ada percakapan yang biasa, seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar
biasa. Entahlah, perasaan ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu.
Aku menjadi
takut kehilangan kamu. Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tidak berada
di sampingku. Kamu seperti mengendalikan otak dan hatiku, ada sebab yang tak
kumengerti sedikitpun. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti aku
butuh udara. Napasku akan tercekat jika sosokmu hilang dari pandangan mata.
Salahkah jika kamu selalu kunomorsatukan?
Tapi...
entah mengapa sikapmu tidak seperti sikapku. Perhatianmu tak sedalam perhatianku.
Tatapan matamu tak setajam tatapan mataku. Adakah kesalahan di antara aku dan
kamu? Apakah kamu tak merasakan yang juga aku rasakan?
Kamu mungkin
belum terlalu paham dengan perasaanku, karena kamu memang tak pernah sibuk
memikirkanku. Berdosakah jika aku seringkali menjatuhkan air mata untukmu? Aku
selalu kehilangan kamu, dan kamu juga selalu pergi tanpa meminta izin. Meminta
izin? Memangnya aku siapa? Kekasihmu? Bodoh! Tolol! Hadir dalam mimpimu pun aku
sudah bersyukur, apalagi bisa jadi milikmu seutuhnya. Mungkinkah? Bisakah?
Janjimu
terlalu banyak, hingga aku lupa menghitung mana saja yang belum kamu tepati.
Begitu sering kamu menyakiti, tapi kumaafkan lagi berkali-kali. Lihatlah aku
yang hanya bisa terdiam dan membisu. Pandanglah aku yang mencintaimu dengan
tulus namun kau hempaskan dengan begitu bulus. Seberapa tidak pentingkah aku?
Apakah aku hanyalah persimpangan jalan yang selalu kau abaikan – juga kautinggalkan?
Apakah aku tak berharga di matamu? Apakah aku hanyalah boneka yang selalu
ikut aturanmu? Di mana letak hatimu?! Aku tak bisa bicara banyak, juga tak
ingin mengutarakan semua yang terlanjur terjadi. Aku tak berhak berbicara
tentang cinta, jika kauterus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa berkata
rindu, jika berkali-kali kauciptakan jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa
apa-apa selain memandangimu dan membawa namamu dalam percakapan panjangku
dengan Tuhan.
Sadarkah jemarimu selalu lukai hatiku? Ingatkah perkataanmu selalu
menghancurleburkan mimpi-mimpiku? Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu?
Terlau banyak pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu yang belum tentu
mencintaiku. Aku mengagumimu yang belum tentu paham dengan rasa kagumku.
Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kauletakkan hatiku yang selama ini kuberikan padamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawab dan tak mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah seseorang yang telah beruntung karena memiliki hatimu?
Mungkin... semua memang salahku. Yang menganggap semuanya berubah sesuai keinginanku. Yang bermimpi bisa menjadikanmu lebih dari teman. Salahkah jika perasaanku bertumbuh melebihi batas kewajaran? Aku mencintaimu tidak hanya sebagi teman, tapi juga sebagai seseorang yang bergitu bernilai dalam hidupku.
Namun, semua jauh dari harapku selama ini. Mungkin, memang aku yang terlalu
berharap terlalu banyak. Akulah yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari
letakmu yang sengguh jauh dari genggaman tangan. Akulah yang bodoh. Akulah yang
bersalah!
Tenanglah, tak perlu memerhatikanku lagi. Aku terbiasa tersakiti kok,
terutama jika sebabnya kamu. Tidak perlu basa-basi, aku bisa sendiri. Dan, kamu
pasti tak sadar, aku berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu.
Menjauhlah. Aku ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku
terobati, di sana tak kutemui orang sepertimu, yang berganti-ganti topeng
dengan mudahnya, yang berkata sayang dengan gampangnya.
dari seseorang yang kehabisan cara
membuktikan rasa cintanya
Cc: Dwitasari :)
Belajar Merelakan
Kamu
mengenalkan namamu begitu saja, uluran tanganmu dan suara lembutmu berlalu
tanpa pernah kuingat-ingat. Awalnya, semua berjalan sederhana. Kita bercanda,
kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun segala percakapan itu
hanya tercipta melalui pesan singkat— BBM. Perhatian yang mengalir darimu dan
pembicara manis kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai
dengan luar biasa.
Kehadiranmu
membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata
dan hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan
aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak menyapaku melalui dentingan
chat BBM. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada
akhirnya kita berbicara hal paling menyentuh; cinta.
Kamu bercerita
tentang mantan kekasihmu dan aku bisa merasakan perasaan yang kaurasakan. Aku
berusaha memahami kerinduanmu akan perhatian seorang wanita. Sebenarnya, aku
sudah memberi perhatian itu tanpa kauketahui. Mungkinkah perhatianku yang
sering kuberikan tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu lagi.
Hatiku bertanya-tanya, seorang pria hanya
menceritakan perasaannya pada wanita yang dianggap dekat.
Aku bergejolak
dan menaruh harap. Apakah kausudah menganggap aku sebagai wanita spesial
meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam
diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai
menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan.
Saat bertemu,
kita tak pernah bicara banyak. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti.
Ketika berbicara di BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat
itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan
secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan
cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru
dalam hadirmu. Aku berusaha memercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu
mengungkapkan pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman,
aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Aku tak pernah
ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit
sendirian. Tapi, nyatanya....
Perasaanku
tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa
mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh
pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan secerdas itu. Aku
hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya wanita
yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki.
Salahku memang
jika mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika
berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah jadi sebab tawa
dan senyumku, aku percaya kautak mungkin membuatku sedih dan kamu tak akan jadi
sebab air mataku. Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku
sinar paling terang. Aku sangat memercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan
yang harus kusesali.
Ternyata,
ketakutanku terjawab sudah, kamu menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi
tanpa ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan yang tak
kausampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah? Aku tak pernah jadi siapa-siapa
bagimu, mungkin aku hanya persinggahan; bukan tujuan. Kalau kauingin tahu, aku
sudah merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan bersamamu. Mungkin,
suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling
membahagiakan.
Aku tak punya
hak untuk memintamu kembali, juga tak punya wewenang untuk memintamu segera
pulang. Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak pernah jadi
tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Dulu, aku terbiasa dengan candaan
dan perhatian kecilmu, namun segalanya tiba-tiba hilang menguap, bagai asap
rokok yang hilang ditelan gelapnya malam.
Sesungguhnya,
ini juga salahku, yang bertahan dalam diam meskipun aku punya perasaan yang
lebih dalam dan kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak
mungkin matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk tahu bahwa aku
mencintaimu.
Aku harus
belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan.
Cc: Dwitasari :)
Langganan:
Postingan (Atom)